![]() |
| Nostalgia dari Lorong Waktu Open Source |
Halo, para penggila teknologi, penggemar open source, dan para pejalan digital yang mungkin baru kemarin mengenal Ubuntu atau Fedora! Pernah nggak sih kalian penasaran, sebelum era di mana Arch Linux dengan AUR-nya menjadi bahan pameran, atau sebelum Debian menjadi raksasa yang begitu stabil, dunia GNU/Linux itu seperti apa? Ternyata, jalanan sejarah distro Linux itu dipenuhi oleh bintang-bintang yang pernah bersinar terang, menjadi pilihan utama banyak orang, namun perlahan redup dan akhirnya padam—entah karena ditinggal pengembang, kalah bersaing, atau memang zamannya sudah berganti.
Artikel ini akan menjadi mesin waktu kita. Kita akan menyelami secara mendalam distro-distro legendaris yang kini sudah menjadi "fosil digital". Kita akan bahas bukan cuma namanya, tapi juga filosofi di baliknya, keunikan yang dibawa, komunitasnya, dan sebab-sebab mengapa mereka akhirnya mengakhiri pengembangan. Siap-siap bernostalgia, atau bagi kamu yang baru, siap-siap terpana melihat betapa dinamisnya dunia open source ini. Ini cerita tentang pionir, tentang ide-ide brilian, dan kadang, tentang kegagalan yang justru membuka jalan bagi kesuksesan distro lain.
Mengapa Banyak Distro yang Akhirnya Mati?
Sebelum masuk ke daftar, penting banget buat kita paham konteksnya. Dunia distro Linux itu seperti ekosistem yang sangat hidup. Ratusan, bahkan ribuan distro pernah lahir. Penyebab "kepunahan" mereka beragam:
- Beban Maintenance: Mengembangkan distro itu kerja keras! Butuh tim solid, server, bandwidth, dan waktu yang banyak. Banyak proyek dimulai oleh individu atau tim kecil dengan semangat membara, tapi lama-lama terbakar habis sendiri.
- Kalah dalam Persaingan: Ada masa di mana "distro war" sangat panas. Hanya yang paling mudah, paling cepat, atau paling banyak dukungannya yang bertahan.
- Bergabung dengan Proyek Lain: Alih-alih mati, beberapa distro memilih bergabung dengan distro lain yang visinya sejalan.
- Perubahan Paradigma Teknologi: Misalnya, distro yang fokus di netbook pasti tersingkir saat tablet dan smartphone menguasai dunia.
- Figur Kunci Meninggalkan Proyek: Seringkali, distro sangat bergantung pada sang founder atau maintainer utama. Saat mereka mundur, proyek bisa ikut mati suri.
Nah, dengan pemahaman itu, mari kita telusuri satu per satu para legenda yang sudah pensiun ini.
1. Mandrake Linux (dan Penerusnya, Mandriva)
Raja Desktop yang Menghilang
Di era akhir 90-an hingga awal 2000-an, jika kamu ingin mencoba Linux tapi takut dengan baris perintah, Mandrake Linux adalah jawabannya. Diluncurkan pertama kali pada 1998 oleh Gaƫl Duval, Mandrake adalah distro yang berani. Ia mengambil basis dari Red Hat Linux (RPM), namun memolesnya dengan antarmuka KDE yang (pada masa itu) sangat cantik dan instalasi yang mudah.
Keunikan dan Warisan: Mandrake punya alat konfigurasi legendaris bernama DrakConf (Dragon Control). Segala sesuatu bisa diatur dari sana: hardware, jaringan, sistem. Ini adalah konsep "Control Panel" ala Linux yang sangat maju pada masanya. Mereka juga punya teknologi Mandrake Move yang memungkinkan sistem dijalankan dari USB dan menyimpan konfigurasi di dalamnya—konsep live USB persisten yang sekarang umum, tapi saat itu adalah sihir!
Masalah dan Kemunduran: Perusahaan di belakangnya, MandrakeSoft, mengalami masalah keuangan yang parah, bahkan sempat bangkrut. Mereka kemudian merger dengan kongsi Brasil Conectiva, melahirkan Mandriva Linux pada 2005. Meskipun Mandriva bertahan lebih lama dan masih punya penggemar, persaingan dengan Ubuntu (yang lahir di 2004) sangat berat. Ubuntu menawarkan kemudahan yang sama, dengan basis Debian yang luas dan dukungan komunitas yang akhirnya lebih besar.
Akhir Cerita: Mandriva akhirnya dihentikan pada 2011 setelah dijual. Namun, dari puing-puingnya lahir beberapa distro "keturunan" yang masih hidup sampai sekarang: OpenMandriva Lx (fork komunitas) dan Mageia (fork oleh mantan developer Mandriva) yang masih aktif dan sehat sampai hari ini. Jadi, roh Mandrake sebenarnya belum benar-benar mati.
2. MEPIS (SimplyMEPIS)
Distro "Just Works" Sebelum Itu Menjadi Tren
Sebelum frase "It just works" dipopulerkan oleh distro-distro modern, sudah ada MEPIS. Dikembangkan oleh Warren Woodford dan dirilis pertama kali di 2003, MEPIS punya misi tunggal: menjadi distro Debian yang stabil TAPI dilengkapi dengan driver dan codec multimedia yang siap pakai langsung setelah instalasi. Di masa di mana menginstal driver NVIDIA atau memutar file MP3 di Linux adalah ritual yang rumit, MEPIS adalah penyelamat.
Keunikan dan Warisan: MEPIS menggunakan kernel yang di-patch khusus untuk kompatibilitas hardware yang lebih baik. Ia juga membawa installer grafis yang mudah dan alat bantu MEPIS Assistant yang membantu konfigurasi sistem. Distro ini sangat populer di kalangan migran Windows yang ingin pindah ke Linux tanpa drama. MEPIS membuktikan bahwa Debian bisa jadi user-friendly.
Masalah dan Kemunduran: Perkembangan Debian dan Ubuntu yang sangat cepat membuat celah yang coba diisi MEPIS semakin sempit. Ubuntu, dengan siklus rilis yang teratur dan dukungan komersial dari Canonical, mampu menawarkan pengalaman "just works" yang lebih update. Pengembangan MEPIS yang bergantung pada satu figur (Woodford) juga lambat laun tidak bisa mengimbangi kecepatan distro besar.
Akhir Cerita: Pengembangan MEPIS secara efektif berhenti sekitar tahun 2013. Warren Woodford sempat menyatakan ketertarikannya untuk menghidupkan kembali proyek ini, namun hal itu tak kunjung terwujud. Warisan MEPIS, bagaimanapun, hidup dalam bentuk antiX dan MX Linux—dua distro yang sangat populer saat ini, terutama untuk hardware lama. MX Linux bahkan sering menjadi peringkat teratas di DistroWatch, membawa filosofi "stabilitas dan kemudahan" ala MEPIS ke level baru.
3. Ubuntu Netbook Remix (UNR) dan Kubuntu Netbook
Distro yang Mengawali Era Netbook, Lalu Ikut Tenggelam Bersamanya
Ingat era keemasan netbook sekitar 2007-2012? Laptop mungil dengan layar 10 inch, prosesor Intel Atom, dan storage SSD kecil itu adalah pasar yang sangat spesifik. Canonical, sang pengembang Ubuntu, cepat tanggap. Mereka meluncurkan Ubuntu Netbook Remix (UNR) pada 2008. Ini adalah Ubuntu biasa, tetapi dengan antarmuka GNOME 2 yang dimodifikasi secara radikal: launcher aplikasi di sisi atas layar, serta penggunaan maksimal space layar yang terbatas.
Keunikan dan Warisan: UNR adalah salah satu eksperimen antarmuka desktop Ubuntu yang paling berpengaruh. Banyak ide di UNR, seperti launcher vertikal dan pencarian global, yang menjadi cikal bakal Unity Desktop yang terkenal di Ubuntu 11.04 ke atas. UNR membuktikan bahwa Linux bisa dioptimalkan untuk perangkat dengan resource terbatas, sebuah pelajaran yang berguna untuk era IoT dan perangkat embedded.
Tak hanya Canonical, Kubuntu juga punya varian netbook dengan antarmuka KDE Plasma Netbook yang sangat futuristik untuk masanya, menggunakan konsep "activity" dan "panel" yang dinamis.
Masalah dan Kemunduran: Nasib UNR dan Kubuntu Netbook tak bisa lepas dari nasih netbook itu sendiri. Kedatangan tablet iPad (2010) dan laptop ultrabook secara perlahan membunuh pasar netbook. Selain itu, perkembangan desktop environment modern seperti GNOME Shell dan Plasma Desktop sudah secara native dirancang untuk beradaptasi dengan layar kecil. Varian khusus menjadi tidak diperlukan lagi.
Akhir Cerita: Pengembangan UNR dihentikan setelah Ubuntu 11.04 (Natty Narwhal) yang memperkenalkan Unity—desktop yang dari sananya dirancang untuk desktop dan netbook. Varian Netbook pun resmi dihapus. Kubuntu Netbook juga mengikuti jalan yang sama, hilang seiring dengan ditinggalkannya mode netbook dari KDE Plasma. Mereka adalah distro yang lahir untuk memenuhi kebutuhan era tertentu, dan dengan elegan pergi saat era itu berakhir.
4. CrunchBang Linux (#!)
Minimalis yang Sempurna dan Komunitas yang Setia
Dalam dunia distro yang seringkali memamerkan efek visual dan fitur berat, CrunchBang (dibaca "crunch bang", simbolnya #!) hadir sebagai anti-tesis. Dirilis pertama kali pada 2008 oleh Philip Newborough (corenominal), CrunchBang adalah distro berbasis Debian Stable yang menggunakan window manager Openbox yang ringan, bukan desktop environment penuh. Hasilnya? Sistem yang sangat cepat, responsif, dan irit resource, cocok untuk hardware jadul atau pengguna yang suka kesederhanaan.
Keunikan dan Warisan: Keindahan CrunchBang terletak pada konfigurasinya yang matang "out of the box". Meski tampilannya hitam dan hijau yang sederhana, semua sudah diatur dengan rapi: shortcut keyboard yang powerful, panel tint2 yang informatif, dan seleksi aplikasi GTK+ yang ringan namun fungsional. Distro ini mengajarkan penggunanya untuk memahami sistem, bukan sekadar memakainya. Komunitasnya sangat solid dan helpful.
Masalah dan Kemunduran: Masalah utama datang dari sang pengembang tunggal. Pada 2013, Newborough mengumumkan bahwa dia akan berhenti mengembangkan CrunchBang karena merasa Debian Stable sudah sangat baik dan mudah diatur sendiri, sehingga kebutuhan akan CrunchBang berkurang. Meski sempat ada upaya komunitas untuk mengambil alih, momentum sudah hilang.
Akhir Cerita: Proyek resmi CrunchBang dihentikan pada 2015. Namun, warisannya luar biasa. Banyak distro "CrunchBang-like" bermunculan. Yang paling terkenal dan masih aktif hingga kini adalah BunsenLabs dan CrunchBang++. Mereka meneruskan filosofi kesederhanaan dan kecepatan, membuktikan bahwa ide di balik #! terlalu bagus untuk mati begitu saja.
5. Linux Mint Debian Edition (LMDE) Versi Awal
Eksperimen Pemberontakan yang Akhirnya Kembali ke Rumah
Kita tahu Linux Mint masih sangat hidup dan populer. Tapi tahukah kamu bahwa Mint pernah punya varian yang benar-benar berbeda? Linux Mint Debian Edition (LMDE) pertama kali dirilis pada 2010 sebagai sebuah eksperimen (dan mungkin sebagai "plan B") oleh tim Linux Mint. Berbeda dengan Mint utama yang berbasis Ubuntu, LMDE dibangun langsung dari Debian Testing. Artinya, tidak ada lapisan Ubuntu di tengah.
Keunikan dan Warisan: LMDE awal menawarkan rolling release berdasarkan Debian Testing, sehingga pengguna mendapatkan update yang lebih fres tanpa perlu upgrade versi besar setiap 6 bulan. Ini menarik bagi penggemar Debian yang ingin tampilan dan kemudahan ala Mint. LMDE adalah pernyataan bahwa Mint bisa mandiri, tidak sepenuhnya bergantung pada Ubuntu.
Masalah dan Kemunduran: Varian ini, terutama yang rolling release, ternyata cukup menantang untuk di-maintain. Debian Testing bisa saja memiliki bug yang tidak stabil, dan tim Mint yang relatif kecil harus menanggung beban ekstra untuk menguji dan memperbaiki masalah khusus LMDE, di samping menjaga kualitas edisi utama berbasis Ubuntu. Akibatnya, LMDE sering dianggap kurang stabil dan update-nya tidak selalu konsisten.
Akhir Cerita: LMDE tidak benar-benar mati, tetapi mengalami transformasi radikal. Sejak rilis LMDE 2 (2015), modelnya diubah dari rolling release menjadi point release dengan basis Debian Stable, dan hanya dirilis sporadis. Filosofinya berubah: dari alternatif mandiri, menjadi sekadar "backup plan" jika suatu hari Ubuntu tidak lagi cocok untuk dijadikan basis. Jadi, LMDE yang revolusioner dan "berani" itu sudah tidak ada lagi, digantikan oleh versi yang lebih konservatif. Edisi awal LMDE adalah distro yang punah secara filosofi.
6. Yoper (Your Operating System)
Distro "Speed Demon" yang Terlalu Ambisius
Di masa ketika compile time dan optimasi adalah agama bagi sebagian orang, muncullah Yoper (2003-2007). Distro ini dari Selandia Baru ini punya slogan "The Linux OS that's tuned for your PC". Ambisinya tinggi: Yoper dikompilasi secara khusus untuk arsitektur i686 (bukan i386 umum) dan mengaktifkan berbagai flag optimasi pada level compiler (seperti -O3, -pipe, -fomit-frame-pointer) untuk mengekstrak setiap tetap performa dari hardware pengguna.
Keunikan dan Warisan: Yoper memang cepat. Sangat cepat. Booting dan launching aplikasinya bisa membuat mata berkedip. Ia juga hadir dengan seleksi software yang "considered the best" pada masa itu, seperti kernel terbaru, KDE, dan aplikasi populer. Yoper adalah bukti bahwa optimasi tingkat rendah bisa memberikan perbedaan yang terasa.
Masalah dan Kemunduran: Optimasi agresif punya harga: ketidakstabilan. Aplikasi yang dikompilasi dengan flag ekstrem kadang crash dengan cara yang aneh dan sulit dilacak. Kompatibilitas juga jadi masalah, karena binary-nya tidak selalu cocok dengan sistem lain. Selain itu, meng-maintain repositori yang semuanya dikompilasi khusus dengan settingan ekstrem adalah pekerjaan raksasa yang membutuhkan farm build yang besar. Tim kecil Yoper kewalahan.
Akhir Cerita: Setelah beberapa tahun bergulat dengan isu-isu tersebut dan komunitas yang tidak pernah benar-benar besar, pengembangan Yoper dihentikan pada 2007. Warisannya hidup dalam bentuk kesadaran akan pentingnya optimasi. Distro seperti Gentoo (yang lebih ekstrem dengan kompilasi dari source) dan Arch Linux (yang memberikan binary optimized untuk x86_64) mengambil semangat "tune for performance" ini, namun dengan implementasi dan komunitas yang lebih sustainable.
7. Dreamlinux
Distro Brasil yang Visualnya Bikin Melongo
Jika ada distro yang bisa dibilang "terlalu cantik untuk zamannya", maka itu adalah Dreamlinux (2003-2012). Berasal dari Brasil, distro berbasis Debian/Ubuntu ini fokus pada multimedia dan, yang paling mencolok, desain visual yang memukau. Dreamlinux menggunakan modifikasi berat pada desktop environment (awalnya XFce, kemudian berpindah-pindah) untuk menciptakan pengalaman pengguna yang mirip macOS dari segi estetika, lengkap dengan dock, tema yang glossy, dan ikon-ikon custom yang detail.
Keunikan dan Warisan: Dreamlinux bukan cuma kulit belaka. Ia dilengkapi dengan suite multimedia yang lengkap (codec, editor video/audio dasar), tool untuk remastering live CD/DVD, dan installer yang mudah. Ia menunjukkan bahwa Linux bisa bersaing di bidang "user experience" dan visual design, bukan hanya stabilitas dan keamanan. Bagi banyak orang, Dreamlinux adalah pintu masuk ke Linux karena tampilannya yang memikat.
Masalah dan Kemunduran: Sama seperti distro dengan dependensi tinggi pada satu visi desain, Dreamlinux sangat bergantung pada pengembang utamanya. Ketika fokus pengembang tersebut beralih, atau ketika tantangan teknis dari perubahan basis (Debian ke Ubuntu dan seterusnya) menjadi terlalu kompleks, perkembangan menjadi tersendat. Selain itu, desain yang sangat spesifik juga berarti kerja ekstra setiap kali ada pembaruan besar pada komponen dasarnya.
Akhir Cerita: Aktivitas pengembangan Dreamlinux meredup setelah rilis versi 5 pada 2012, dan tidak ada kabar resmi mengenai penghentiannya. Namun, fakta bahwa tidak ada update atau komunikasi dalam satu dekade membuatnya masuk kategori "punah". Estetika ala macOS kini bisa dicapai dengan tema dan dock di hampir semua distro, tapi Dreamlinux akan dikenang sebagai pionir yang berani membuat Linux terlihat "sexy".
8. Kongoni GNU/Linux
Distro Afrika yang 100% Bebas, Hingga ke Detail Paling Dalam
Dalam dunia yang didominasi oleh distro besar yang memasukkan driver proprietary atau firmware blob, Kongoni (2007-2013) hadir dengan pendirian yang teguh. Distro asal Afrika ini (nama Kongoni adalah kata Swahili untuk Wildebeest, mirip dengan filosofi Ubuntu) berkomitmen untuk menjadi distro yang 100% Free Software, sesuai dengan definisi Free Software Foundation (FSF). Bahkan, installer-nya pun dirancang untuk hanya menyertakan paket yang sepenuhnya bebas.
Keunikan dan Warisan: Kongoni bukan sekadar Trisquel atau PureOS yang lain. Salah satu fitur uniknya adalah sistem Kongoni Ports, yang terinspirasi dari sistem ports pada *BSD. Ini memungkinkan pengguna mengompilasi aplikasi dari source dengan mudah, sambil tetap menjaga prinsip kebebasan. Kongoni adalah distro untuk para puritan free software yang juga ingin punya kendali penuh.
Masalah dan Kemunduran: Menjaga distro 100% bebas itu sangat sulit dan membatasi. Kompatibilitas hardware menjadi masalah besar, karena banyak perangkat modern membutuhkan firmware non-bebas agar bisa berfungsi. Basis pengguna yang sangat niche membuat kontributor dan developer aktifnya sedikit. Beban maintenance untuk sistem ports dan repositori bebas akhirnya terlalu berat untuk tim kecil di belakangnya.
Akhir Cerita: Pengembangan Kongoni terhenti sekitar tahun 2013. Namun, semangat dan prinsipnya hidup dalam distro-distro bebas lainnya seperti Trisquel dan PureOS. Kongoni mengajarkan bahwa komitmen pada ideologi murni dalam dunia teknologi yang kompleks seringkali harus berhadapan dengan tantangan praktis yang berat.
9. Foresight Linux
Pioneer Rolling Release dengan Teknologi Konary
Sebelum Arch Linux menjadi sinonim dengan "rolling release untuk pengguna desktop", dan sebelum openSUSE Tumbleweed menyempurnakan konsepnya, sudah ada Foresight Linux (2004-2012). Distro ini adalah salah satu pionir rolling release yang user-friendly. Yang membuatnya benar-benar unik adalah sistem manajemen paketnya: Conary, yang dibuat oleh perusahaan rPath.
Keunikan dan Warisan: Conary bukan sekadar APT atau YUM. Ia adalah sistem yang sangat canggih dengan fitur seperti atomic update (update dilakukan dalam transaksi yang bisa di-rollback jika gagal), komponen paket yang bisa dibagi (componentized), dan dukungan native untuk membuat paket dari source dengan mudah. Foresight juga dikenal sebagai distro pertama yang secara default menggunakan desktop GNOME dengan banyak fitur eksperimental, serta integrasi yang baik dengan *Monkey (SoundMonkey, etc).
Masalah dan Kemunduran: Sistem Conary, meski powerful, memiliki kurva belajar yang curam dan dokumentasi yang terbatas. Ini menyulitkan developer luar untuk berkontribusi. Ketika rPath, perusahaan di belakang teknologi inti ini, mengalihkan fokus bisnisnya, Foresight kehilangan mesin penggerak utama. Popularitas Arch Linux yang meledak sebagai rolling release "do-it-yourself" juga mengambil alih perhatian komunitas.
Akhir Cerita: Proyek Foresight Linux resmi dihentikan pada 2012. Conary sebagai proyek terpisah juga tidak lagi aktif. Namun, ide-ide revolusionernya—terutama atomic update dan transaksional system—kini kita lihat hidup kembali dan disempurnakan dalam teknologi seperti OSTree (yang digunakan Fedora Silverblue dan Endless OS) serta snap dan flatpak untuk aplikasi. Foresight terlalu jauh ke depan untuk masanya.
10. Gobolinux
Distro yang Menata Ulang Sistem File, Berani Beda
Hampir semua distro Linux mengikuti Filesystem Hierarchy Standard (FHS): /bin, /etc, /usr, /lib, dan seterusnya. Tapi Gobolinux (2003-? masih ada tapi stagnan) bilang, "Itu kuno dan membingungkan!". Distro ini secara radikal mengubah struktur sistem file. Ia mengorganisir semua program dalam direktori tersendiri di bawah /Programs, mirip dengan cara macOS atau Windows. Jadi, Anda akan punya /Programs/GIMP/2.10 atau /Programs/Firefox/90.0.
Keunikan dan Warisan: Struktur ini membuat manajemen paket dan multiple versioning menjadi sangat elegan. Anda bisa dengan mudah memiliki beberapa versi library atau aplikasi yang berjalan berdampingan tanpa konflik. Gobolinux juga punya sistem manajemen paketnya sendiri, Compile dan Recipe, yang memungkinkan kompilasi dari source dengan konfigurasi yang konsisten. Distro ini adalah eksperimen sosial dan teknis yang berani menantang konvensi paling dasar di dunia Linux.
Masalah dan Kemunduran: Ketidakcocokan dengan FHS adalah pedang bermata dua. Setiap software dari luar yang mengasumsikan struktur FHS bisa rusak atau perlu dimodifikasi. Dukungan hardware dan integrasi dengan tool standar menjadi tantangan. Ini membuat Gobolinux tetap menjadi distro untuk pengguna tingkat lanjut dan enthusiast, tidak pernah mencapai massa kritis.
Akhir Cerita: Gobolinux tidak pernah benar-benar mengumumkan penghentian, tetapi aktivitas pengembangannya sangat minim dalam beberapa tahun terakhir. Statusnya bisa dibilang "mati suri" atau "proyek hobi yang tertidur". Namun, ide di baliknya sangat berpengaruh. Konsep containerization (Docker, Podman) dan bundling aplikasi (Snap, Flatpak, AppImage) pada dasarnya adalah cara untuk mencapai isolasi dan organisasi paket ala Gobolinux, tetapi tanpa mengganggu sistem file inti. Gobolinux benar, hanya saja solusinya datang dari arah yang berbeda.
Refleksi: Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Distro-Distro yang Punah Ini?
Menyusuri sejarah distro-distro yang sudah tidak dikembangkan lagi ini bukan sekadar nostalgia. Banyak pelajaran berharga yang bisa kita ambil:
- Inovasi Sering Datang dari Pinggiran: Banyak fitur yang sekarang kita anggap biasa (installer grafis mudah, live USB persisten, desktop yang dioptimalkan untuk layar kecil, atomic update) pertama kali diperkenalkan atau dipopulerkan oleh distro-distro "kecil" ini.
- Komunitas adalah Nyawa: Distro yang bertahan adalah distro yang berhasil membangun dan mempertahankan komunitas yang sehat dan mandiri. Distro yang terlalu bergantung pada satu figur atau perusahaan rentan runtuh.
- Keseimbangan antara Idealisme dan Pragmatisme: Distro yang terlalu ideologis (seperti Kongoni) atau terlalu teknis-ambisius (seperti Yoper) seringkali kesulitan berkembang karena batasan yang mereka buat sendiri. Yang bertahan biasanya menemukan titik temu.
- Adaptasi atau Mati: Dunia teknologi berubah cepat. Distro yang sukses adalah yang bisa beradaptasi dengan perubahan paradigma (seperti pergeseran dari desktop ke mobile, atau ke cloud).
- Kematian bukan Akhir: Hampir tidak ada distro yang benar-benar mati tanpa meninggalkan warisan. Code, ide, atau bahkan mantan pengembangnya seringkali berpindah ke proyek lain, menyuburkan ekosistem open source secara keseluruhan.
Kesimpulan
Jadi, lain kali kamu boot ke Ubuntu, Fedora, atau Arch Linux, ingatlah bahwa kamu berdiri di atas pundak banyak raksasa—dan banyak pula pionir yang mungkin telah jatuh. Distro-distro "punah" itu adalah bagian penting dari sejarah panjang dan berliku GNU/Linux menuju kematangan seperti sekarang. Mereka adalah bukti bahwa dunia open source adalah taman eksperimen yang subur, tempat ide-ide brilian diuji, ada yang berkembang menjadi pohon besar, ada yang sekadar menyebarkan bijinya lalu layu.
Mungkin suatu hari, distro favorit kita saat ini akan masuk daftar seperti ini, dikenang oleh generasi berikutnya sebagai "distro lawas yang legendaris". Dan itu tidak apa-apa. Itu artinya dunia ini masih hidup, masih berinovasi, dan masih bergerak maju. Selamat jalan, para legenda. Terima kasih atas pelajaran, inovasi, dan inspirasinya!
Catatan: Informasi dalam artikel ini dikumpulkan dari arsip DistroWatch, mailing list, dan komunitas lama. Jika ada distro legenda lain yang kamu kenang dan merasa pantas masuk daftar, ceritakan di komentar ya!

Setiap komentar kami moderasi...
Silahkan berkomentar dengan bijak... Dilarang SPAM dan menyantumkan link aktif...
EmoticonEmoticon